Entri Populer

Selasa, 05 Juli 2011

UAS PLKH TUN SUSULAN

POSISI KASUS:

Hj. MUMMU DG. CAYA binti MANGEMBA NAKO, bertempat tinggal di Jalan Lasolo No.9 Rt.02/Rw.02 di Kelurahan Sodohoa, Kecamatan Kendari, Kota Kendari Sulawesi Tenggara, telah mengajukan gugatan terhadap KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA MAKASSAR, berkedudukan di Jalan Andi Pangerang Pettarani Makassar dan CHRISTOFORUS SAMSON SUCAHYO, Direktur Utama ( PT. MURTIGRAHA PERKASA DINAMIKA), bertempat tinggal di Jalan Dr. Ratulangi Nomor :122 Makassar.
Bahwa dasar pengajuan gugatan Penggugat dikarenakan Keputusan Tata Usaha Negara dari Tergugat berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 4285 /Sudiang seluas 26.779 M2 tertanggal 20 Juni 1997 atas nama PT. MURTIGRAHA PERKASA DINAMIKA terletak di Kelurahan Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar (dh. Kotamadya Ujung Pandang) telah bertentangan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta melanggar asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat 2 sub a dan b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 20004 (tentang perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986) karena :
Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara Tergugat berupa sertipikat Hak Guna Bangunan dimaksud ternyata telah merugikan kepentingan hukum Penggugat karena sepanjang pengetahuan Penggugat tidak pernah melihat serta mengetahui Tergugat turun melakukan pengecekan data fisik dan data yuridis atas tanah milik Penggugat, sehingga tindakan Tergugat mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara pada saat itu sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Juncto Peraturan Pemerintnah Nomor 10 Tahun 1961 (Pendaftaran Tanah), kemudian dirobah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Pendaftaran Tanah) Juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 ;

(Dikutip dari Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: No. 63 K/TUN/2006)





PERTANYAAN:

1. Sebutkan obyek gugatan yang telah saudara buat berdasarkan posita dan petitum gugatan tersebut! Buktikan dan jelaskan apakah obyek gugatan demikian merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya!
2. Dengan posisi kasus demikian, siapa yang akan saudara dudukkan sebagai Penggugat dan siapa pula yang akan saudara posisikan sebagai Tergugat? Jelaskan, mengapa demikian!
3. Akan berhasilkan Penggugat dalam menggugat Tergugat tersebut? Jelaskan!
4. Bagaimanakah jika para pihak menghendaki menyelesaikan sengketa tersebut secara damai, sedangkan gugatan terlanjur diajukan? Jelaskan menurut materi gugatan saudara!

UAS PLKH PERDATA SUSULAN

FAKTA YURIDIS
Kuswadi tanggal 24 Juni 1977 meminjam uang sebesar Rp. 50.000,00 kepada Muhdihardjo dengan jaminan sebidang tanah pekarangan luas 245 M2 terletak di Dusun Tobanan, Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Persisnya di sebelah Utaranya berdampingan dengan rumahnya Muhdihardjo. Kemudian berturut-turut pada hari-hari berikutnya sampai tanggal 7 Juli 1979, Kuswadi meminjam uang lagi sehingga jumlah pinjaman seluruhnya sebesar Rp. 204.060,00. Atas pinjaman uang tersebut dibuat surat perjanjian hutang secara tertulis di atas kertas zegel yang disepakati bersama yang intinya pinjaman atau hutang akan dikembalikan dalam jangka waktu dua bulan. Ternyata setelah masa dua bulan habis, Kuswadi tidak melunasi hutang serta tidak berusaha mengangsurnya. Akhirnya, Kuswadi dan berjanji akan memberikan tanah pekarangan yang menjadi jaminannya kepada Muhdihardjo, serta bersedia menyelesaikan balik namanya di Kelurahan Wonokromo. Namun ternyata janji-janji Kuswadi tersebut tidak kunjang tiba.

PERTANYAAN:
1. Dalam perjanjian hutang-piutang di atas, apakah telah didasarkan pada azas-azas hukum perjanjian?
Sebutkan dan jelaskan, azas-azas yang mana saja yang melandasi perjanjian hutang piutang tersebut!
2. Sah atau tidakkah, perjanjian hutang-piutang yang telah dibuat antara Kuswadi dengan Muhdihardjo tersebut?
Uraikan jawaban saudara, dengan merujuk pada dasar hukumnya!
3. Andaikata uang yang dipinjamkan pada Kuswadi tersebut adalah uang palsu dan ternyata Kuswadi baru tahu setelah terjadi kesepakatan, apakah perjanjian hutang piutang tersebut tetap mengikat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1338 BW?
Jelaskan jawaban saudara!
4. Coba saudara buatkan gugatan dan ajukan ke lembaga peradilan yang kompetens, ke pengadilan mana? Jelaskan! Saudara prediksi bagaimana isi putusannya! Jelaskan!

Rabu, 07 Juli 2010

KEMAHIRAN HUKUM STAIN: PENGUMUMAN JAWABAN UAS MASUK

Hingga hari ini, jawaban UAS Kemahiran Hukum yang kami terima adalah atas nama:
1. Ediyanto;
2. Fathor Rozy;
3. Hendriyadi;
4. Moh. Jufriady;
5. Mubarokah;
6. Norholis;
7. Nurul Hasanah;
8. Saida Nurvina Jamilia R.;
9. Ach. fariki Aska;
10. Wahyudi;
11. Abd. Wadud Jufri;
12. Farid Sofyan;
13. Moh. Nurul Halim;
14. Rismawati;
15. Luqman;
16. Sakur;
17. Sakur;
18. Rini Laifatul Khotimah;
19. Samsu'din.

Batas akhir pengiriman jawaban UAS Kemahiran Hukum tanggal 09 Juli 2010 pukul 00.00 WIB. Bagi Mahasiswa-mahasiswi yang merasa mengirimkan namun tidak dimuat, kemungkinan yang terjadi adalah: pengiriman gagal atau tidak terbaca karena file yang dikirim selain office 2003.

Senin, 28 Juni 2010

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 101/PUU-VII/2009

Keberadaan Peradi pada tahun 2006 pernah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan dalil yang dikemukakan oleh Para Pemohon uji materiil, Peradi tidak dapat dilegalisasi sebagai satu-satunya wadah organisasi Advokat. Namun Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin oleh Prof. Jimly menyatakan bahwa keberadaan Peradi adalah sah secara hukum sebagai satu-satunya wadah organisasi Advokat. Hal itu juga telah disepakati oleh delapan organisasi Advokat yaitu: AAI, IPHI, SPI, HAPI, AKHI, HKHPM dan APSI guna melaksanakan perintah Undang-Undang Advokat. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Putusannya Nomor 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006.
Ternyata Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pada hari Rabu tanggal tiga puluh bulan Desember 2009 dengan nomor perkara 101/PUU-VII/2009 seolah dimentahkan. Sebab Mahkamah Konstitusi dengan putusan nomor 101/PUU-VII/2009 telah memberikan keluasaan kepada organisasi Advokat lain yang berkehendak guna mendirikan wadah Advokat. Ini akan terbaca dari perimbangan dan amar putusannya yang menyatakan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah inkonstitusional. Artinya organisasi Advokat yang telah terbentuk dapat saja berpraktik sebagai Advokat dengan tanpa diambil sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi.
Dengan putusan tersebut Mahkamah Konstitusi seolah ambigu, di satu sisi menyatakan Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal organisasi Advokat, namun di sisi lain menyatakan organisasi Advokat tidak saja Peradi melainkan juga KAI, bahkan dimungkinkan muncul wadah organisasi yang lain. Hal ini dikarenakan, wadah organisasi Advokat tersebut dapat lahir secara sah jika telah disetujui oleh seluruh organisasi Advokat yang jumlah delapan organisasi dimaksud.
Secara yuridis jika Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut yaitu dengan nomor 101/PUU-VII/2009 adalah tidak tepat. Sebab putusan tersebut hanya mendasarkan kepada persetujuan dari beberapa organisasi Advokat yang menyatakan keluar dan mencabut kesepakat yang telah disetujuinya ketika akan dibentuk Peradi. Pencabutan persetujuan dari beberapa organisasi Advokat guna menolak Peradi yang kemudian mendirikan KAI, sesungguhnya bukan ranah Mahkamah Konstitusi. Sebab perbuatan hukum pencabutan persetujuan dari beberapa organisasi guna mendirikan KAI adalah merupakan ranah hukum perdata. Sehingga keabsahan pencabutan persetujuan berdirinya Peradi dan kesepakatan pendirian KAI harus diuji terlebih dahulu di tingkat peradilan perdata, bukan Mahkamah Konstitusi.
Bilamana di tingkat peradilan perdata, persetujuan pencabutan terhadap berdirinya Peradi dan persetujuan mendirikan KAI dimaksud secara hukum absah. Maka keberadaan pendirian KAI dan penolakan terhadap Peradi sebagai satu-satunya wadah organisasi Advokat dapat diajukan pada Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian Mahkamah Konstitusi dengan putusannya 101/PUU-VII/2009 tersebut adalah melampaui keswenangannya. Secara yuridis putusan tersebut tidak dapat dijadikan pedoman bagi para Advokat.

Rabu, 24 Februari 2010

Setiap Tindak Pidana Tidak Harus Dipidana

Asas Hukum Pidana kita telah menentukan demikian cukup “equal” penerapan penegakan hukum. Berawal dari asas “nullum delictum nulla poena zine praevia legi poenalie” yang memberikan kepastian hukum tentang siapa yang harus dipidana (baca dihukum), ketika terjadi tindak pidana (baca kejahatan). Acuannya demikian sangat jelas yaitu semua perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, jika undang-undang tidak melarang atau tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan yang dapat dipidana, maka hukum tidak boleh menjatuhkan pidana terhadapnya.

Demikian pula dengan penerapan asas “presumption of innocent” agar tiap-tiap pelaku tindak pidana itu dilarang dipersalahkan dengan menyatakan sebagai penjahat atau pelaku sesuatu tindak pidana. Lebih-lebih lagi di dalam persidangan perkara pidana yang notabene guna mempertahankan hukum pidana materiil yang telah disusun dalam berkas perkara harus dipertahankan dan dipertaruhkan dengan Hukum Acara Pidana, dengan segala asas hukum yang berlaku.

“Equality before the law” adalah asas hukum yang mengharuskan setiap orang diperlakukan sama dalam menghadapi masalah hukum. Jangan karena ia seorang petinggi negara, maka asas hukum “kompetensi absolut” berlaku, sehingga perkara pidana yang mendudukkan dirinya sebagai terdakwa membuat dirinya lepas dari tuntutan, karena perkaranya adalah perkara perdata. Kemudian ketika kedudukan terdakwa digantikan oleh pemulung yang tidak menyetor hasil pulungannya pada juragan berdasarkan perjanjian kerja menjadi tindak pidana penipuan, sehingga asas “kompetensi absolut” menjadi terkendala untuk diterapkan.

Masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang penerapan hukumnya menyimpangi asas “Equality before the law”. Saya melihat akar permasalahan yang memunculkan perilaku penyimpangan penegakan hukum hanya berdasar “pokoknya.” Pokoknya kasus tersebut berhasil diberkas oleh penyidik, maka pasti terbukti. Pokoknya Jaksa Penuntut Umum telah menyatakan P-21 berkas itu, maka pasti terbukti. Pokoknya berkas kasus itu telah disidangkan, pasti ia terbukti sebagai pelaku tindak pidana.

Akibatnya, ketika peradilan menyatakan kasus tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau kasus tersebut bukan tindak pidana, maka peradilannya yang bobrok dengan tanpa melihat proses pembuktian dalam persidangan. Kemudian apa fungsi asas “presumption of innocent”, apa fungsinya ada putusan yang amarnya terbukti secara sah dan meyakinkan, ada putusan yang amarnya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan serta ada putusan yang amarnya lepas dari tuntutan.

Amar putusan peradilan yang notabene berdasarkan fakta persidangan amat bergantung pada hasil olah pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan hasil olah pembuktian balik yang dilakukan oleh Penasihat Hukum. Ketika peradilan menyatakan tidak terbukti atau lepas dari tuntutan, seharusnya jauh-jauh sebelum itu kalangan terkait yang menyatakan dirinya sangat consent dengan perkaranya mengupayakan cara bagaimana tetap menjadi terbukti. Jangan malah peradilan yang disoroti bobrok atau berkolusi atau menerima suap.

Bagi lembaga peradilan dalam era keterbukaan seperti saat ini, examinatie perkara seharusnya dibuka lebar-lebar bagi pihak luar untuk menguji keluhuran seorang hakim dengan putusan itu. Tentu pihak luar yang akan mengexaminatie tersebut mempunyai kompetensi di bidang hukum dan ia harus mempunyai disiplin ilmu hukum, misalnya kalangan akademisi hukum dan praktisi hukum.

Tidak sedikit penyidik yang tidak profesional, jaksa tidak profesional dan hakim tidak profesional. Sehingga untuk mengangkat derajat kalangan profesional penegak hukum tersebut perlu diterapkan etika di lingkungan penegak hukum masing-masing. Dengan maksud dan tujuan yang satu “jangan pidana orang yang tidak bersalah”.
Sehingga patut dipertanyakan, atas dasar apa peradilan yang membebaskan dan melepaskan terdakwa dipersalahkan, sebelum dilakukan examinatie. Dalam konteks ini kita harus berfikir positif, belaku arif, andai hakim peradilan itu kita dan kita telah seoptimal mungkin menjatuhkan putusan berdasarkan hukum dan seluruh kemampuan profesional serta itikad baik dan karena taqwa kita kepada Allah SWT.

Kamis, 11 Februari 2010

Tegakkan Hukum agar Langit tidak Runtuh

"Fiat Justitia Roeat Coelum" ini adalah visi dari advokat Indonesia dalam menegakkan hukum. Pertanyaan yang perlu dikemukakan dalam tulisan ini adalah "haruskah penegakan hukum ditegakkan dengan meruntuhkan langit?" walau pengertian visi tersebut tidak bermaksud untuk meruntuhkan langit. Situasi Indonesia saat ini khususnya dalam penegakan hukum, saya melihat demikian carut-marutnya penegakan hukum kita, di seluruh lini. Di jajaran Polri selaku penyidik, di jajaran jaksa selaku Penuntut Umum, di jajajan peradilan selaku hakim tidak terkecuali di jajaran advokat selaku Penasihat Hukum atau Kuasa Hukum.
Di Jajaran Penyidik tidak sedikit kasus yang tidak memenuhi unsur tindak pidana, tetap dipaksakan menjadi berkas pidana sehingga bisa di P-21 oleh Penuntut Umum. Sebaliknya tidak sedikit kasus pula yang memenuhi unsur tindak pidana, namun tidak menjadi berkas perkara pidana.
Di jajaran Penuntut Umum tidak sedikit berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik langsung dinyatakan P-21 demikian saja, sehingga demikian mudah dilimpahkan dan di sidangkan di pengadilan. Serta tidak sedikit pula berkas perkara yang memenuhi unsur tindak pidana, namun tidak dinyatakan P-21 oleh Penuntut Umum.
Di jajaran hakim, saya menilai lebih sedikit di bandingkan dengan dua lembaga penegak hukum di atas, kendati ada juga. Entah hal itu disebabkan kontrol intern lembaga peradilan atau karena hakim memang mempunyai kemampuan dalam proses penegakan. Walaupun juga di sana-sini masih terdapat pembacaan putusan yang tertunda-tunda karena hal yang tidak relevan.
Sesungguhnya ke tiga elemen Penegak Hukum di atas adalah penentu tehadap "lurusnya penegakan hukum" di Indonesia. Ketika Penyidik menyidik perkara secara "lurus" apa adanya, tanpa apapun dan tidak tunduk pada intervensi. Maka, bagaimanapun kekuatan seorang advokat, baik ia senior atau yunior, ia profesional atau amatir, tidak akan berarti apapun, ia tidak lebih sekedar untuk ikut meluruskan proses penegakan hukum. Seorang advokat tidak lagi ikut meluluskan dan menjerumuskan proses penyimpangan hukum.
Intinya adalah kemampuan profesional dan kepatuhan tehadap etika profesi yang optimal disertai dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Profesional karena mereka mampu memahami dan menerapkan hukum, dengan etika yang akan mengawalnya untuk tidak melakukan berbagai bentuk penyimpangan, serta kesemua hal tersebut hanya ditujukan lillahi ta ala.

Rabu, 10 Februari 2010

Etika Profesi Hukum menentukan Profesionalisme

Sekitar satu tahun yang lalu saya selaku advokat bertemu dengan advokat senior, saya perhatikan penampilannya bersahaja. Walau ia tidak cakep, ia tetap memperlihatkan performa yang cukup mengagumkan. Entah hal apa mencitrakan dia sebagai advokat senior dengan penampilan yang mengagumkanm yang jelas ia tidak memandang sebelah mata pada keberadaan saya.
Sebuah sosok kepribadian yang mengagumkan, ternyata tidak cukup diimplementasikan dari style saja. Orang awam beranggapan advokat adalah sebuah kepribadian yang harus memperlihatkan style yang mengagumkan, ternyata itu keliru tanpa didukung oleh keilmuan yang mempuni.
Disini kita dapat melihat dengan jelas bahwa advokat profesional dengan segala kepribadian dan kehandalannya dalam menerapkan hukum dengan tanpa bermaksud menjatuhkan orang lain. Kepribadian yang santun, ilmu yang cukup mempuni dan justru style sekedar mendukung.